Sabtu, 11 Februari 2012

Asing Terus Hancurkan NKRI Melalui Papua

Kita masih ingat bagaimana berbagai peristiwa terus memanaskan suasana di Papua, dari mulai bentrokan berdarah di kabupaten Puncak yang menewaskan hampir 20 orang, lalu serangan diwilayah pinai dan nafri yang dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka), termasuk dimana beberapa kota di Papua seperti di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari terjadi demontrasi mendukung kemerdekaan Papua yang konon diikuti oleh ribuan orang dari berbagai kota itu

Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB) yang mengkoordinasikan demonstrasi itu menyatakan dengan jelas bahwa demonstrasi itu dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP (International Lawyer for West Papua) yang menyerukan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia. Dan peritiwa itu untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua pada tingkat internasional.

Konferensi itu diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford. Tema yang diusung adalah tentang kemerdekaan Papua : “West Papua ? The Road to Freedom”. Diantara pembicaranya adalah John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “Autonomy of Betrayal”, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday. Sementara dari Provinsi Papua telah diundang untuk berbicara melalui video-link di konferensi tersebut yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman. Sebelumnya media juga mengungkap bagaimana perasn Asing memanaskan bumi papua sebut saja antara mereka senator Partai Demokrat AS Dianne Feinstein, Uskup Agung Desmond Tutu, anggota parlemen Inggris dari partai Buruh Andrew Smith serta mantan pemimpin Papua Nugini Michael Somare. “Mereka adalah beberapa dari sekelompok besar orang yang bersekutu menuntut Papua Merdeka. Media-media yang berbasis Australia banyak mengungkap dan mengklaim memiliki dokumen gerakan sparatais dan mendukung gerakan Papua Merdeka. Seperti nama beberapa senator Amerika, Anggota Parlemen Selandia Baru, Anggota Kongres Amerika Serikat, Jaringan NGO Asing, Anggota Parlemen Irlandia, Anggota Parlemen Eropa, Anggota Parlemen Inggris, hingga jurnalis asing di Papua.Acara yang sama pernah berlangsung Tahun lalu juga diadakan di Inggris.

Catatan lainya pada 25 Oktober 2000, Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, John Rumbiak menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara bagian Melbourne dari Partai Buruh, yang intinya mereka mendukung setiap gerakan separatis Papua.Dan Sejak tahun 2000, Bob Brown dari partai Hijau dan senator aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua. Pada 2003, Bob mengkampanyekan masuknya beberapa submisi kepada parlemen Australia dengan mengangkat pelurusan sejarah Irian Jaya dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Jaya. Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan, pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan “Mahkota Papua” dari kelompok pro-separatis di Sydney. Selain itu ada juga, Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia, ia mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.

Parliamentary Group on West Papua yang dimotori oleh Bob Brown juga didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPA-A), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia. Prof Denis Leith juga turut memberikan dukungan terhadap pro kemerdekaan Papua dengan cara membantu penggalangan dana bagi WPP. Upaya itu secara lebih masif pernah terjadi pada tahun 2006. Pada tahun 2005, anggota Kongres AS pernah mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) pada Indonesia.

Catatan - catatan kecil tersebut merupakan fakta awal sekaligus menjawab kebenaran keterlibatan asing sudah lama terlibat di berbagai konflik di tanah papua khususnya dan NKRI umumnya, Asing sudah menjadikan Papua atau Indonesia sebagai medan perangnya,sebagai lahan yang harus di rebutnya,sebagai kekayaan sumberdaya alam yang harus di rampoknya,sebagai wilayah yang strategis untuk kepentingan nasionalnya baik secara politik, ekonomi,maupun pertahananya seperti pangkalan militer.

Asing yang sejak Revolusi kemerdekaan 45 terus menggerogoti Indonesia karena ‘nikmatnya’menjajah terus ikut menumpahkan darah rakyat NKRI secara langsung. Asing hingga hari ini, terus melakukan propaganda dan penetrasinya dengan memanfaatkan lemahnya hubungan sosial politik antara warga bangsa Indonesia, Asing memanfaatkan jauhnya jarak antara elite papua dengan suku2 di bawahnya,antara elite politik bangsa dengan rakyatnya, kita juga sering medengar dari berbagai media bagaimana elite papua melakukan korupsi,poya-poya baik di Jakarta maupun di wilayahnya dan mengabaikan Rakyatnya yang memang jauh tertinggal dari daerah lain,ini berbagai persoalan yang nyata yang dihadapi bangsa ini diwilayah timurnya.

Pertanyaan lanjutan apakah betul spionase yang di lakukan asing dengan mengacak-acak papua hanya bermotif ekonomi? Alias hanya sebatas persaingan dagang dan bisnis karena kekayaan alam papua atau ada agenda lebih jauh seperti memporak porandakan NKRI karena cengkraman yang mulai kendor akibat berbagai kemajuan yang di alamai bangsa ini sehingga menjadi ancaman serius bagi dominasi (persemakmuran di asia tenggara ) sehingga Desintegrasi papua di jadikan pintu masuk untuk memecah belah bangsa karena kalau papua berhasil lepas akan di ikuti daerah lain yang berpikiran sama.

kalau itu yang menjadi dasar niatnya maka ini persoalan yang tentu saja sangat serius bagi bangsa,ini persoalan rakyat Indonesia bukan hanya pemerintah karena gerakan tersebut merupakan ancaman NKRI yang akan terpuruk dan masuk dalam lingkaran konflik berkepanjangan kalau ini terjadi tentu saja costnya akan sangat mahal “pecah belah dan jajahlah”,sebuah situasi yang harus di hadapi oleh seluruh komponen bangsa agar melek dan tetap waspada di era bangsa yang sedang merangkak menyambut kemajuan,kemandirian sesuai dengan cita-cita para pendiri negara, dan sekecil apapun bentuk interpensi apalagi penetrasi ke dalam NKRI merupakan gerakan asing dalam mengibarkan bendera permusuhan yang harus di respon dengan tegas, jangan seperti Libya yang di kapling-kapling,Yaman yang pecah dua,somalia yang gagal,Irak,afghanistan yang masih hanyut memelihara konflik sektrian

0 komentar:

Posting Komentar