Sabtu, 11 Februari 2012

Semangat Baru Kaum Pinggiran

Di tengah situasi merangkak dan memperbaiki diri pasca Reformasi yang menghanyutkan kehidupan berbangsa dan bernegara pada transisi ‘mengejutkan’ ternyata badai cobaan menghantam bangsa ini dengan begitu vulgar dan memilukan. Kita sebagai bangsa merasakan betul bagaimana efek psikologis transisi tersebut.

Ancaman ketahanan pangan yang nyata-nyata menjadi ancaman serius pasca meledaknya jumlah penduduk serta semakin menipisnya lahan dan perubahan cuaca ekstrim yang melahirkan gagal panen, penganguran karena kran perdagangan global sehingga indutri menghadapi ancaman nyata, penyakit menular dan nafza yang merajalela mengancam kaum muda potensial, belum begitu bominya anak-anak putus sekolah karena banyak faktor yang mendukungnya melahirkan sebuah generasi terputus dan gelap semakin menancapkan kokonya. Penyakit sosial lainya yang terus membayangi kehidupan sosial masyarakat kita seperti pelacuran di bawah umur, traficking dengan berbagai modusnya, serta perekrutan terorisme lebih dini.

Di sisi lain media massa baik elektronik, radio maupun surat kabar secara terbuka mempertontonkan pengkhianatan kaum intelek dan cerdik pandai, elite politik bertikai dan terus menerus mengeruk kekayaan bangsa demi kepentingan kekuasaan dan kepentingan kelompok atau golonganya, perilaku korup yang merajalela di seluruh tingkatan seolah-olah membudaya, baik di lembaga-lembaga politik, jabatan-jabatan strategis, di meja-meja kekuasaan sehingga rakyat tahu bahwa saat ini antrean panjang bupati, walikota, gubernur untuk diperiksa lembaga hukum karena korup, sebagain sudah diproses dan dipenjarakan, sebagian menunggu giliran, tanpa rasa mau atau berdosa sedikitpun.

Di ruang gelap yang tidak bersentuhan dengan rakyat mengabarkan bahwa aset-aset strategis milik bangsa yang seharusnya mensejahterakan rakyat, memakmurkan negeri seperti apa yang diamanahkan kemerdekaan ternyata dikuasai asing, banyak UU yang disahkan tidak berpihak pada rakyat tapi lebih berpihak pada kelompok kecil elite yang berkuasa atau berduit. Semua produk tersebut belum terasa saat ini karena yang akan merasakan nanti generasi mendatang seperti halnya orde baru yang memberikan kontrak tambang seperti Freeport dulu di mana yang merasakanya dampaknya adalah generasi muda saat ini sebuah generasi ‘cuci piring’.

Saat ini kita ibarat ilalang yang sangat mudah untuk dibakar, tengoklah bagaimana berbagai kerusuhan mudah terjadi dan disulut oleh hal-hal sepele yang sebenarnya tidak perlu terjadi di masyarakat beradab dan dewasa ini, kerusuhan akibat politik kekuasaan seperti pilkada, aksi mahasiswa yang selalu memerankan anarkis, bentrokan antar pelajar, perkelahian anggota Dewan, perang kampung yang mudah dijumpai bahkan di ibukota Negara sebuah pemandangan biasa seperti di film ‘Gank of New York’ ratusan atau puluhan sebelum new York seperti sekarang.

Kemelut yang lebih memprihatinkan adalah gerakan-gerakan separatisme yang bisa memicu Desintegrasi bangsa menjadi pemandangan yang diwajarkan, Di Papua, Ambon, Terorisme, Invasi senyap pencaplokan wilayah RI oleh Negara tetangga, konflik SARA yang semakin merapuhkan semangat kebersamaan sebagai Bangsa semuanya fakta.

Pancasila seperti pensiunan, NKRI seperti baju yang longgar dan dipaksakan dan sekadar jargon, UUD hanya kitab-kitab tua yang lusuh. Semua warga bangsa menyadai ancaman tersebut, tapi semuanya cuek dan menggangap hal lumrah, keperihatinan hanya dianggap lebay, kaum tua tidak meneladani, kaum muda tidak peduli, kaum baru sesat sejarah ,kaum lama dibungkus kerakusan. Situasi bernada lampu kuning berakhir, semuanya berjalan sendiri-sendiri, ibarat sapu lidi tanpa kebersamaan lidi hanyalah sebatang bambu tak berarti.

Masih setumpuk bukti dan fakta lain bagaimana bangsa ini saat ini perlu tangan-tangan kita untuk segera bangkit memperbaiki diri karena kalau memperbincangkan keburukan bangsa ini sangat mudah dan gampang. Negeri ini butuh cinta kita, butuh uluran tangan kita, butuh keterlibatan kita. Sangat tidak mungkin menata Indonesia hanya mengandalkan komponen kecil elite bangsa, sangat berbahaya menyerahkan harapan hidup dan cita-cita besar pada elite politik.

Indonesia masih bisa diselamatkan dan harus diselamatkan, Indonesia belum berakhir dan tidak akan berakhir sampai akhir zaman, Indonesia bukan apa yang ditampilkan di layar kaca dengan berbagai kemelut dan kegaduhanya karena faktanya dinamika di akar rumput jauh lebih sehat dan sederhana persoalannya, tidak ada krisis nasionalisme, tidak ada krisis patriotisme, tidak ada harapan yang berlebihan dan muluk-muluk, tidak ada keluh kesah, putus harapan dan caci maki menuntut perbaikan seperti yang didengdangkan di radio-radio, Indonesia bukan sebuah negeri tanpan tuan, tanpa batas, tanpa garis seperti yang tertulis di media jejaring sosial, Indonesia adalah negeri segudang harapan yang terus memperbaiki diri walaupun perlahan seperti yang dirasakan di ruang-ruang sekolah dasar, madrasah, pos-pos ronda, kampung-kampung dan desa-desa yang selalu mengaliri ibu pertiwi dengan doa-doa dan syukur sehingga Indonesia selalu berada dalam lautan rahmat Allah SWT.

Sawah masih luas sepanjang memangdang semangat bertani terus merambah kaum muda, laut yang tidak bertepi masih memberkahi pemuda-pemuda yang bermimpi menjadi raja-raja laut, jutaan pemuda juga lari dari ruang-ruang mimpi ‘pegawai negeri’ dan membangun usaha-usaha kemandirian, dusun-dusun disulap jadi desa besar, semua fasilitas kota hadir, sekolah-sekolah kampung berkiblat pada perubahan2 besar melalui jendela informasi yang mudah di akses, bukan menyimpulkan bahwa kegaduhan bangsa ini hanya di elite dan di pusat tapi faktanya memang di dusun-dusun membangun usaha untuk mewujudkan harapan jauh lebih cepat larinya dibanding berita-berita yang dikabarkan media.

Indonesia terus berbenah dan memperbaiki diri, kesejahteraan memang harapan semuanya tapi bukan di tangan kelompok elite pemegang kebijakan apalagi politisi. Cita-cita keutuhan NKRI, cita-cita mensejahterakan rakyat, cita-cita membangun bangsa yang mandiri dan berdaulat, cita-cita menjadi bangsa yang bermartabat pasti tercapai di sanubari setiap warga bangsa, bukan diukur dari pemberitaan yang sering menyesatkan pandangan rakyat bawah.

Indonesia masih memiliki dunia lain, dunia yang jauh berbeda dari propaganda yang dikabarkan seperti Negara gagal, Negara sakit atau Negara tanpa harapan, ada kepemimpinan politik ada kepemimpinan kultural, budaya, kepala suku, tokoh adat, penjaga wilayah yang terus mengabdi dan berbenah demi kebaikan lingkungan terkecil, ada pendidikan non formal yang bercita-cita dan bekerja terus membangun masyarakat lebih baik, lebih beradab, lebih maju dan mandiri, ada kekuatan ekonomi kecil yang terus bertahan dan berkarya dengan kerja keras, kerja iklas dan kerja cerdas mewujudkan harapan, ada kepemimpinan agama yang jauh dari sentuhan-sentuhan politik yang membangun daya tahan lebih kuat yang mengajarkan sabar, syukur dan berusaha, serta banyak kepemimpinan lain yang terbentuk karena dasar kecintaan terhadap Negara bangsa dan rakyat, sebuah sistem yang lahir dari hati yang membebaskan negri dari sakit berkepanjangan akibat penjahan, sebuah harapan baru dari mutiara terpendam yang dinamakan semangat baru kaum pinggiran untuk NKRI.

0 komentar:

Posting Komentar